Hukum

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA (WHISTLEBLOWER) DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA (JUSTICE COLLABORATOR)

OnNewsOne.com, — The American Heritage Dictionary mendefinisikan seorang Whistleblower sebagai, “one who reveals wrongdoing within an organization to the public or to those in positions of authority”. Artinya, seorang Whistleblower adalah orang yang mengungkap penyelewengan dalam sebuah organisasi kepada publik atau kepada pemegang kekuasaan. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa seorang Whistleblower pada hakikatnya merupakan “orang dalam”, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau dimana ia berada. Oleh karena itu, seorang Whistleblower benar¬-benar mengetahui dugaan pelanggaran dan kejahatan tersebut karena hal itu terjadi di tempatnya bekerja sehingga laporan yang diberikan Whistleblower ini merupakan suatu peristiwa faktual dan penting.

Seorang Whistleblower menekankan aspek moralitas dalam keberanian memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan. Whistleblower sebenarnya adalah manusia biasa yang berada dalam situasi luar biasa, namun Whistleblower telah melakukan sesuatu yang benar yang seharusnya dilakukan oleh semua orang. Aspek moralitas ini walaupun tidak wajib, namun pada hakikatnya sangat penting karena yang ditekankan dari seorang Whistleblower adalah muatan informasi yang sangat penting bagi kehidupan publik. Niat untuk melindungi kepentingan masyarakat itu akan muncul jika didukung dengan moral yang kuat.

Whistleblower dan Justice Collaborator sama-sama berperan sebagai “orang dalam” yang memiliki pengetahuan penting dan faktual mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh atau berhubungan dengan organisasinya, namun keduanya merupakan subyek yang berbeda. Perbedaannya adalah bahwa Justice Collaborator tidak hanya mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh organisasi tersebut, tetapi juga ikut berperan serta dalam melakukan kejahatan tersebut. Ia dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan di mana bukti lainnya bisa ditemukan karena ia adalah salah satu pelaku kejahatan tersebut.

Praktek perlindungan terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) versi Indonesia dikenal dengan perlindungan saksi dan korban dan sampai saat ini masih tersebar dari berbagai peraturan perundang-undangan. Perlindungan saksi dan korban yang berlaku dan tersebar itu adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang sebelumnya masih tersebar diberbagai ketentuan perundang-undangan yaitu untuk tindak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002), PP Nomor 71 Tahun 2000, Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Nomor 8 Tahun 2010), PP Nomor 57 tahun 2003, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005, Tindak Pidana Pelanggaran HAM Yang Berat (UU Nomor 26 Tahun 2000) dan PP Nomor 2 Tahun 2002 dan Tindak Pidana Terorisme (UU Nomor 15 Tahun 2003) dan PP Nomor 24 Tahun 2003.

Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, meskipun hak dan kewajiban masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi telah di atur berdasarkan Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta ketentuan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun pelindungan hukum hanya diberikan kepada orang-orang yang murni sebagai pelapor, sedangkan bagi pelapor yang terlibat dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkannya (participant Whistleblower).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diantaranya juga memberikan perlindungan terhadap para pelapor tindak pidana (Whistleblower), tetapi undang-undang tersebut dianggap masih belum memadai, karena hanya memberikan perlindungan kepada pelapor tindak pidana (Whistleblower).
Menurut Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan yang diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana mempertimbangkan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;
2. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;
3. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban;
4. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.
Sementara itu SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Pengertian Whistleblower dan Justice Collaborator yang dimaknai oleh SEMA ini adalah berbeda.

Whistleblower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporannya. Sementara itu Justice Collaborator dimaknai sebagai saksi pelaku yang bekerjasama, dimana yang bersangkutan bukanlah pelaku utama dan mengakui kesalahannya.

Whistleblower biasanya ditujukan kepada seseorang yang pertama kali mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana atau tindakan yang dianggap ilegal di tempatnya bekerja atau orang lain yang berada kepada otoritas internal organisasi atau kepada publik seperti media massa atau lembaga pemantau publik. Pengungkapan tersebut tidak selalu didasari itikad baik sang pelapor, tetapi intinya ditujukan untuk mengungkap kejahatan atau penyelewengan yang diketahuinya.

Perlindungan terhadap Justice Collaborator telah diatur secara tegas dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berbunyi:

a. Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dan tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan;

Perlindungan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ialah perlindungan hukum yang diberikan kepada Saksi yang juga tersangka yang secara umum biasa disebut sebagai saksi mahkota, saksi kolaborator atau kolaborator hukum. Kedudukannya sebagai “seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama” mengisyaratkan bahwa seorang yang dapat diposisikan sebagai Justice Collaborator haruslah seorang saksi yang juga tersangka.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu

Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah bahwa yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangannya sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HF1-1 LHM.03.02.th.2011, Nomor PER-045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama).

Saksi pelaku yang bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.

Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum mendefinisikan Justice Callaborator sebagai pelaku yang bekerja sama yaitu (baik dalam status saksi, pelapor, atau informan) yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk, misalnya pemberian informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang dapat mengungkapkan suatu tindak pidana dimana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkannya tersebut (atau bahkan suatu tindak pidana lainnya).

Untuk lebih memahami pentingnya peran
Whistleblower dan Justice Collaborator dalam sistem peradilan pidana, berikut ini akan diuraikan berdasarkan tahapan-tahapan bekerjanya sistem peradilan pidana tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Tahap Penyelidikan dan Penyidikan
Pada tahap ini merupakan awal dari proses pemeriksasan perkara pidana, keberhasilan tahap ini menentukan tahap-tahap selanjutnya. Tahap ini, yang terpenting adalah mencari dan menemukan suatu fakta kebenaran materiil setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil berkaitan dengan peristiwa yang terjadi baik sebelum, sedang maupun sesudah perbuatan pidana dilakukan, termasuk menemukan siapa pelaku suatu kejahatan. Peran Whiteblower dan Justice Collaborator dalam proses ini, Penyelidik dan Penyidik dengan sendirinya dapat terbantu dalam mengungkap dan menemukan fakta-fakta materiil yang semula tertutup menjadi terang menderang.

2. Tahap Penuntutan
Pada tahap penuntutan ini adalah tahap di wilayah institusi kejaksaan, dengan memberi kewenangan penuh kepada jaksa penunutut umum untuk melakukan penuntutan itu. Penuntutan dapat dilakukan jika Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa BAP yang disampaikan oleh Penyidik telah lengkap. Dalam hal ini sumber informasi dari Whistleblower dan Justice Collaborator adalah menjadi hal yang utama dan sangat diperlukan. Oleh karena itu urgensi Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tahap penuntutan adalah menghindari adanya kesalahan dan ketidaktepatan dalam menyusun surat dakwaan, menghindari adanya ketidaksesuaian antara uraian perbuatan dengan pasal-pasal yang didakwakan dan menjadi dasar penuntutan serta ketepatan dalam mengajukan terdakwa.

3. Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan diawali dengan penetapan majelis hakim, selanjutnya ditetapkan hari sidang. Setelah tiba hari persidangan, hakim menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara tertentu di mana sidang harus dinyatakan tertutup untuk umum, Justice Collaborator memiliki peran penting dalam hal membantu membongkar dan mengungkapkan kasus-kasus yang tergolong dalam tindak pidana yang terorganisir.

Dalam kasus korupsi Whistleblower dan Justice Collaborator berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena mereka sendiri tidak lain adalah orang dalam di dalam institusi di mana ditengarai telah terjadi praktek korupsi. Selain memberikan informasi atau keterangan yang akurat baik ditingkat penyidikan, penuntutan maupun dalam persidangan, Whistleblower dan Justice Collaborator berperan pula dalam mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar atau pengembalian aset-aset hasil dari tindak pidana korupsi atau dari kejahatan.

4. Tahap Pelaksanaan Putusan
Tahap pelaksanaan putusan adalah tahap yang paling akhir dalam sistem peradilan pidana yang dilakukan oleh sub-sistem Pemasyarakatan. Harapan dan tujuan dari sub sistem ini, berupa aspek pembinaan dari penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang disebut narapidana (NAPI). Tata cara pelaksanaannya pembinaan telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.

Kedudukan atau posisi seseorang sebagai Whistleblower dan Justice Collaborator, Peran dan fungsi tersebut dapat membantu aparat penegak hukum dalam dalam mengungkap atau mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Peran dan fungsi sebagai Whistleblower dan Justice Collaborator diperoleh dari tahapan-tahapan tertentu sesuai dengan mekanisme sistem peradilan pidana terpadu. Konsep ideal perlindungan hukum bagi Whistleblower dan Justice Collaborator, adalah perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif.

Pemenuhan hak sebagai saksi, seperti perlindungan fisik, perlindungan psikis, dan perlindungan hukum lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, harus diberikan kepada Whistleblower dan Justice Collaborator, yang telah membantu mengungkap atau mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

(Iip Saripudin, SH, MH)