Berita

Perayaan Imlek di Indonesia: Sejarah, Larangan, dan Pengakuan sebagai Hari Libur Nasional

NASIONAL, OnNewsOne.com – Perayaan Tahun Baru Imlek telah menjadi bagian dari keberagaman budaya di Indonesia. Setelah melalui berbagai dinamika sejarah, Imlek akhirnya ditetapkan sebagai hari libur nasional pada tahun 2002 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2002 di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Keputusan ini menandai pengakuan negara terhadap tradisi masyarakat Tionghoa yang telah lama berkembang di Indonesia.

Pada tahun 2025, perayaan Imlek jatuh pada Rabu, 29 Januari, yang bertepatan dengan tahun 2576 Kongzili atau Shio Ular Kayu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, masyarakat Tionghoa di Indonesia akan merayakannya dengan berbagai tradisi, termasuk sembahyang di klenteng, makan bersama keluarga, serta pembagian angpao sebagai simbol keberuntungan.

Sejarah dan Asal Usul Perayaan Imlek 

Imlek berakar dari tradisi Tiongkok kuno yang telah berlangsung sejak lebih dari 3.000 tahun lalu. Berdasarkan legenda, perayaan ini berawal dari kisah tentang monster bernama Nian yang selalu muncul setiap malam tahun baru untuk meneror penduduk, memakan hasil panen, dan menyerang hewan ternak. Untuk mengusir Nian, masyarakat menggunakan warna merah, suara petasan, serta cahaya lampu. Sejak saat itu, kebiasaan tersebut berkembang menjadi tradisi yang diwariskan hingga kini dalam perayaan Tahun Baru Imlek.

Di Indonesia, tradisi Imlek mulai diperkenalkan oleh para pedagang Tiongkok yang bermigrasi dan menetap di Nusantara sejak ribuan tahun lalu. Seiring waktu, perayaan ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Tionghoa-Indonesia. Pemerintah Indonesia di era Presiden Soekarno bahkan sempat mengakui Imlek sebagai salah satu hari raya keagamaan dalam Penetapan Pemerintah Nomor 2 Tahun OEM-1946, bersama dengan perayaan lain seperti Ceng Beng dan hari wafatnya Khonghucu.

Larangan Perayaan Imlek di Era Orde Baru

Namun, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, perayaan Imlek dilarang dilakukan secara terbuka melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967. Kebijakan ini melarang segala bentuk perayaan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa di ruang publik. Masyarakat Tionghoa hanya diperbolehkan merayakan Imlek secara tertutup dalam lingkungan keluarga.

Kebijakan ini berlangsung selama lebih dari tiga dekade, hingga akhirnya pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut larangan tersebut melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Keputusan ini membuka kembali ruang bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka, serta mengakui agama Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.

Imlek sebagai Hari Libur Nasional

Langkah lebih lanjut dilakukan pada tahun 2001, ketika Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif. Setahun kemudian, di era Presiden Megawati Soekarnoputri, perayaan Imlek resmi dijadikan hari libur nasional bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.

Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional bukan hanya bentuk pengakuan terhadap budaya masyarakat Tionghoa, tetapi juga menjadi simbol keberagaman dan toleransi di Indonesia. Kini, Imlek dirayakan dengan meriah di berbagai daerah di Indonesia, dengan atraksi barongsai, festival lampion, serta tradisi berkumpul bersama keluarga untuk menyambut tahun baru dengan harapan baru.

Dengan pengakuan resmi ini, Imlek tidak hanya menjadi momen perayaan bagi masyarakat Tionghoa, tetapi juga momentum kebersamaan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam merayakan keberagaman budaya yang telah menjadi bagian dari identitas bangsa. (Nisa Fauziah)