LAMPUNG, onnewsone.com – Kuasa hukum korban Ko Koyun dan Cong Hoa, Ahmad Fauzan dan Azis Aptira angkat bicara soal tuduhan yang dilayangkan kuasa hukum terdakwa MS yang merasa kliennya dikriminalisasi dan diperas.
Adapun, hal tersebut berkaitan mengenai kasus penggelapan genset yang terhadi di pabrik tepung tapioka PT Tri Karya Manunggal Lampung.
Kuasa hukum korban Ko Koyun dan Cong Hoa, Ahmad Fauzan dari kantor hukum Fitra & Associates didampingi Azis Aptira menjelaskan, bahwa dalam kasus tersebut, kuasa hukum terdakwa, Alvin Lin merasa kasus yang menimpa kliennya itu dikriminalisasi, bahkan ada ungkapkan pelapor minta uang damai seniali Rp 10, 5 miliar, padahal genset yang dijual hanya Rp 160 juta.
“Jadi seolah-olah diperas. Kami jelas membantah dan kami merasa perlu meluruskan tuduhan itu,” kata Ahmad Fauzan kepada wartawan, Kamis (5/12/2024) pagi.
Sementara itu, Ahmad Fauzan memaparkan semua bukti kepemilikan pabrik itu beserta isinya, sudah tercantum dengan jelas di dalam akta jual beli perusahaan nomor 8 tahun 1996.
“Pabrik itu dibeli oleh tiga orang dan semua aset-aset pabrik itu pun tercatat sampai dengan tahun 2018 sekua ada di dalam pembukaan pabrik,” ujar Fauzan.
“Jadi kalau berbicara siapa pemilik aset-aset atau barang-barang pabrik PT Tri Karta Manunggal, di pembukuan jelas tercatat milik pabrik PT Tri Karya Manunggal. Artinya itu kepemilikan bertiga, karena pabrik itu dimiliki bertiga,” sambungnya.
Fauzan juga menyinggung soal komitmen kliennya dalam hal pembayaran uang pesangon pegawai pada saat pabrik itu tutup, kliennya sudah mentransfer ke rekenjng istrinya terdakwa.
“Jadi jelas klien kami pun membayar uang pesangon tersebut, bukti transfernya jiga masih ada. Sehingga terkait pesangon tak hanha menjadi beban terdakwa,” terang Fauzan.
Soal tudingan kliennya meminta uang senila Rp 10, 5 miliar sebagai uang damai, padahal genset yang dijual hanya senilai Rp 160 juta, Fauzan juga menjelaskan, bahwa di dalam pabrik itu bukan hanya genset 500KVA tapi banyak alat-alat untuk memproduksi tepung tapioka.
“Nah sekarang alat-alat itu semuanya sudah tidak ada lagi di pabrik itu. Semua peralatan pabrik rain karena sudah dipindah tanpa musyawarah dan tanpa ijin kepada pemilik lainnya.
Nilai pabrik itu, dikatakan Fauzan, pada saat sebelum dipindahkan dan masih komplit alat-alat produksi tepung tapioka, jika dijual bisa mencapai Rp 15 miliar apalagi sudah beroperasi selama 25 tahun.
“Dengan dipindahkannya baarang-barang atau alat pabrik itu pun klien kami telah dirugikan. Apalagi sampai ada yang dijual tanpa musyawarah dulu tanpa izin dulu kepada pemilik lainnya. Jadi perlu saya tegaskan dalam perkara ini tidak ada yang mengkriminalisasi apalagi memeras, karena semuanya sudah jelas terungkap dalak persidangan,” tegasnya.
Terkait muncul tawaran perdamaian dengan angka Rp 10,5 miliar, hal itu didasarkan pada komitmen pembagian beban dan keuntungan 70:30. Begitu pun, diterangkan Fauzan, pembagian beban pada saat pembayaran uang pesangon pegawai dan pada pembagian hasil.
“Kalau dihitung klien saya sebenarnya hanya meminta haknya dikembalikan saja senilai Rp 10,5 miliar atas pabrik itu. Dengan pengkalian hak klien saya 70 persen dari Rp 15 miliar yaitu Rp 10,5 miliar,” pungkasnya.
onnewsone.com