NASIONAL, OnNewsOne.com – Aliansi mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar aksi unjuk rasa bertajuk “Indonesia Gelap” sebagai bentuk kritik terhadap sejumlah kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Aksi ini dijadwalkan berlangsung serentak di berbagai daerah di Indonesia mulai Senin (17/2/2025) hingga Jumat (21/2/2025).
Dalam unggahan di akun Instagram resmi BEM SI, mereka menyampaikan keresahan terhadap arah kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat.
“Situasi bangsa kita hari ini semakin gelap. Kebijakan yang dikeluarkan kian mencekik dan menyengsarakan rakyat,” tulis BEM SI dalam unggahannya, Senin (17/2/2025).
Salah satu poin utama yang menjadi sorotan dalam aksi ini adalah kebijakan efisiensi anggaran yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Kebijakan tersebut mengatur efisiensi dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2025.
BEM SI menilai, langkah efisiensi ini justru berpotensi mengorbankan sektor pendidikan. Pemotongan anggaran diperkirakan menyebabkan sekitar 663 ribu mahasiswa kehilangan kesempatan mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah pada tahun 2025.
“Prabowo berjanji memprioritaskan pendidikan, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Anggaran pendidikan dipotong, dan ratusan ribu mahasiswa terancam kehilangan haknya untuk melanjutkan pendidikan,” tulis BEM SI dalam unggahan lainnya.
Pemangkasan anggaran tersebut dinilai dapat menyebabkan meningkatnya biaya pendidikan di perguruan tinggi. Kondisi ini dikhawatirkan akan memicu gelombang mahasiswa putus kuliah, khususnya mereka yang bergantung pada bantuan pendidikan dari pemerintah.
Selain pemangkasan anggaran pendidikan, BEM SI juga menyoroti alokasi anggaran untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dianggap tidak tepat sasaran. Menurut mereka, anggaran yang dialihkan untuk program tersebut justru mengorbankan sektor pendidikan, yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa.
“Pemerintah, berhentilah berbicara tentang masa depan jika pendidikan yang menjadi pilar kemajuan justru dipinggirkan di masa sekarang,” tegas BEM SI dalam pernyataannya.
Mereka menilai, program MBG cenderung bersifat populis dan belum memiliki dampak jangka panjang yang signifikan, sementara pendidikan adalah investasi penting untuk keberlanjutan pembangunan nasional.
Aksi protes ini juga mendapat dukungan dari BEM Universitas Indonesia (BEM UI). Dalam pernyataannya, BEM UI menyoroti empat kebijakan pemerintah yang dinilai perlu dikoreksi, di antaranya:
1. Pencabutan kebijakan efisiensi anggaran pendidikan yang berpotensi memutus akses mahasiswa terhadap pendidikan tinggi.
2. Peninjauan ulang Program Makan Bergizi Gratis (MBG) agar tidak membebani anggaran pendidikan.
3. Pembatalan pasal dalam RUU Minerba yang memungkinkan perguruan tinggi mengelola tambang karena dikhawatirkan dapat mengganggu independensi akademik.
4. Pencairan tunjangan kinerja untuk dosen dan tenaga kependidikan tanpa hambatan birokrasi dan pemotongan yang merugikan.
“Kami menolak segala bentuk kebijakan yang mengorbankan pendidikan atas nama efisiensi anggaran. Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa, bukan sektor yang bisa dikompromikan,” tegas Ketua BEM UI dalam pernyataan resminya.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 untuk mengoptimalkan pengelolaan anggaran negara. Pemangkasan yang dilakukan mencapai Rp306,69 triliun, dengan rincian Rp256,1 triliun dari belanja kementerian/lembaga (K/L) dan Rp50,59 triliun dari transfer ke daerah.
Menurut pemerintah, efisiensi ini bertujuan untuk menjaga stabilitas fiskal serta mendukung program prioritas nasional, salah satunya Program Makan Bergizi Gratis. Namun, pemangkasan di sektor pendidikan justru menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk kalangan mahasiswa.
Aksi “Indonesia Gelap” diperkirakan akan terus berlangsung hingga akhir pekan ini. Mahasiswa berencana melakukan aksi damai di sejumlah titik strategis di kota-kota besar, termasuk di depan Gedung DPR/MPR RI di Jakarta. Mereka berharap pemerintah membuka ruang dialog dan mempertimbangkan kembali kebijakan yang dinilai merugikan masa depan pendidikan Indonesia.