Edukasi

JALAN PANJANG SOSIAL KE SOSIALITA

OnNewsone.com – Pada hari itu di bulan Desember 2025 dalam lamunan sore hari selepas kerja, dan Setelah membaca berita terkait adanya pemotongan bansos di salasatu desa, lalu mencari tau kebenarannya dan hampir setiap yang ditanya membenarkan kabar tersebut, sehingga terpikir pada salahsatu undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Tulisan ini hanya bermaksud untuk mengedukasi secara hukum tentang hal tersebut, semoga bermanfaat bagi para pembaca.Bantuan sosial (bansos) yang disalurkan oleh pemerintah pusat merupakan instrumen kebijakan publik yang memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan yang terdampak kondisi sosial-ekonomi.

Sebagai bagian dari upaya negara untuk memenuhi hak dasar warga negara, bansos tidak hanya berfungsi sebagai bentuk perlindungan sosial, tetapi juga sebagai mekanisme mitigasi risiko terhadap berbagai tekanan ekonomi, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketidakpastian akibat krisis.

Namun dalam praktiknya, pelaksanaan program bansos sering kali tidak berjalan sesuai tujuan, salah satunya ditandai dengan munculnya tindakan pemotongan atau pengurangan nilai bantuan oleh oknum perangkat desa.

Fenomena ini bukan hanya mencerminkan lemahnya pengawasan dan tata kelola distribusi di tingkat lokal, tetapi juga menunjukkan adanya penyalahgunaan kewenangan yang merugikan penerima manfaat. Akibatnya, program bansos yang semestinya menjadi instrumen pemerataan dan perlindungan sosial justru menimbulkan ketidakadilan baru serta menghambat upaya pemerintah pusat dalam menanggulangi kemiskinan. Kondisi ini penting untuk dikaji lebih lanjut guna memastikan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas penyaluran bansos sesuai hak masyarakat.

Pemotongan bantuan sosial yang bersumber dari Pemerintah Pusat seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT/Sembako), BLT Kemensos, atau bantuan langsung lainnya oleh oknum perangkat desa merupakan pelanggaran hukum yang serius karena dana tersebut berada di bawah kewenangan penuh Kementerian Sosial, bukan pemerintah desa. Aparat desa hanya berperan sebagai fasilitator pendataan, bukan sebagai pihak yang berhak menentukan besar kecilnya bantuan yang diterima warga. Karena bansos pusat berasal dari APBN, maka setiap pengurangan nilai bantuan tanpa dasar hukum resmi termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi, sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, karena memenuhi unsur merugikan keuangan negara serta penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara. Pemotongan tersebut juga dapat dianggap sebagai pungutan liar atau pemerasan dalam jabatan apabila dilakukan dengan tekanan atau alasan yang tidak sah, serta berpotensi menjadi tindak pidana penggelapan bila dana yang dipotong digunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.

Dari aspek administrasi pemerintahan, tindakan ini melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa, karena kepala desa tidak memiliki kewenangan untuk mengubah, menarik, ataupun memotong bantuan yang bersumber dari APBN. Segala alasan yang sering dipakai, seperti biaya operasional, kontribusi warga, atau “partisipasi untuk desa”, tidak memiliki legitimasi hukum dan tetap dianggap perbuatan melawan hukum. Selain ancaman pidana berat, kepala desa atau perangkat desa yang melakukan pemotongan bansos pusat dapat dijatuhi sanksi administratif oleh bupati/wali kota berupa teguran, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap. Pemotongan bansos pusat oleh aparat desa pada dasarnya mencederai hak warga miskin untuk memperoleh jaminan sosial dari negara dan merupakan bentuk penyimpangan kewenangan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum.

Selain pasal-pasal korupsi dalam UU Tipikor, pemotongan bansos pusat juga dapat dijerat menggunakan Pasal 12 e UU Tipikor, yaitu tindak pidana berupa pemerasan oleh penyelenggara negara. Pasal ini berlaku apabila aparat desa meminta atau memotong dana dengan alasan tertentu seperti “biaya administrasi”, “bagian desa”, atau “aturan lokal” padahal tidak ada kewenangan hukum untuk melakukannya.

Pemotongan semacam ini dianggap sebagai penyalahgunaan jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok. Selain itu, Pasal 368 KUHP tentang pemerasan juga dapat diterapkan apabila terdapat unsur paksaan, intimidasi, atau ancaman kepada penerima manfaat agar menyerahkan sebagian bantuan. Dalam kondisi lain, tindakan aparat desa dapat dikualifikasikan sebagai penggelapan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 374 KUHP, jika dana yang dipotong disimpan atau dipakai untuk kepentingan pribadi.

Di luar itu, terdapat pula Pasal 5 dan Pasal 12B UU Tipikor tentang gratifikasi, yang bisa menjerat oknum apabila memotong bansos dengan dalih “uang terima kasih” atau “kontribusi sukarela”, karena setiap pemberian yang diterima penyelenggara negara dalam konteks jabatan dianggap gratifikasi yang berpotensi koruptif. Sementara dari aspek administrasi, pemotongan bansos melanggar Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 29 UU Desa, yang mengatur kewajiban kepala desa untuk menyelenggarakan pemerintahan yang terbuka, akuntabel, serta melarang tindakan menyalahgunakan wewenang.

Jadi, secara keseluruhan, pemotongan bansos pusat dapat dijerat tidak hanya dengan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, tetapi juga Pasal 5, Pasal 12 e, Pasal 12B UU Tipikor; serta Pasal 368 dan Pasal 374 KUHP, tergantung bentuk perbuatannya.

Dengan demikian, persoalan pemotongan bansos oleh oknum perangkat desa bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi merupakan masalah serius yang menghambat tercapainya tujuan program bansos dan merugikan hak masyarakat. Situasi ini menegaskan perlunya mekanisme pengawasan yang lebih kuat serta penegakan hukum yang tegas agar bantuan sosial benar-benar sampai kepada pihak yang berhak menerima.

Penulis: Iip Saripudin SH., MH.(Dosen Fakultas Hukum Universitas Mayasari Bakti Tasikmalaya)